Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salllam dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk kesempurnaan keinginan beliau n yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari segala sarana yang dapat menggiring kepada kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut.
Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya.
Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1. Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah (Ethiopia). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوِ الْعَبْدُ
الصَّالِحُ؛ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِداً وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ
الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
"Mereka itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih-
meninggal di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah
tempat ibadah, dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar
mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang
paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun
masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan
sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara
nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Al Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud
kepada kuburan para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan
menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai kiblat, yang mereka
menghadap dalam shalat, serta menjadikannya sebagai berhala-berhala,
maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat mereka”.
Imam al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat
gambar-gambar tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri
teladan dan mengenang perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat
memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka; karenanya,
mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan mereka. Kemudian
setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud
dari pendahulu mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan
menyatakan, bahwa para pendahulu mereka tersebut sebenarnya telah
menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk
menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan
sebagai makhluk yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah
sekaligus. Yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah
di atasnya dan fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya disebut fitnah,
karena memalingkan manusia dari agama.
Beliau rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun
masjid-masjid di atas kuburan-kuburan, karena telah banyak
menjerumuskan umat-umat sebelumnya, baik ke dalam syirik besar maupun
syirik lainnya yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan
perbuatan syirik terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang
mereka anggap bahwa ia merupakan garis-garis rajah dari
bintang-bintang, dan hal lain yang serupa dengan bintang. Ini terjadi,
karena berbuat syirik dengan menyembah kuburan orang yang diyakini
keshalihannya lebih terasa di dalam jiwa, daripada berbuat syirik
dengan menyembah pohon atau batu.
Oleh karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi
kuburan dengan penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah
diri, serta menyembahnya dengan sepenuh hati, padahal ibadah yang
seperti itu tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah ataupun di
waktu tengah malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang bersujud
kepada kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan
tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah
mereka harapkan ketika berada di masjid-masjid.
Lantaran perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan
tanpa ragu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikisnya.
Sampai-sampai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat di
pekuburan secara mutlak, meskipun orang melakukannya tidak dengan
maksud mengharapkan berkah tempat tersebut sebagaimana ia
mengharapkannya ketika shalat di dalam masjid. Begitu pula beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya melakukan shalat pada
waktu terbit dan tenggelamnya matahari, karena waktu-waktu tersebut
digunakan oleh kaum musyrikin untuk menyembah matahari. Karenanya,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya shalat pada
waktu-waktu tersebut, meskipun mereka tidak memiliki tujuan yang sama
dengan tujuan kaum musyrikin tadi. Hal ini sebagai upaya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup rapat celah-celah menuju
kesyirikan.
Adapun bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud
untuk mendapatkan keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut,
maka ini jelas merupakan sikap memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar
aturan agamaNya, mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak
pernah Allah izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara ijma’,
bahwa di antara perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui
bahwa shalat di sisi kuburan adalah dilarang. Dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang mengfungsikan kuburan
sebagai masjid. Karena itu, di antara perbuatan mengada-ada (bid’ah)
yang paling besar dan merupakan sebab-sebab terjadinya kesyirikan
adalah melakukan shalat di sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai
masjid, serta mendirikan masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan
pelakunya secara keras sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok
umat secara jelas dan terang-terangan melarang untuk mendirikan
masjid-masjid di atasnya, karena mereka mengikuti sunnah yang shahih
dan sharih (jelas).
Para ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam
Malik dan Imam Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan
tersebut. Ada juga yang menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh,
namun sepatutnya membawa maknanya kepada karahah at tahrim (makruh yang
berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik kepada para ulama
yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan
perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan pelakunya beliau laknat.”
2. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha,
bahwa ia pernah berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas.
Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الَْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
"Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani,
mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah
(masjid)".
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati
kematiannya, untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi
dan Nasrani) itu. Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam tersebut, niscaya kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai tempat
ibadah.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang
paling bisa dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut
sebagai masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat
melakukan shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan
sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan
kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid
dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan
menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah
menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan
dirinya.
Masjid di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan
dahi di atas tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan
diri. Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya,
menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan salah satu
sarana kepada sikap pengagungan kuburan.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan
bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka
mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di
sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai
tempat beribadah dan shalat.
Adapun perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari
perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat
isyarat yang menjadi penyebabnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, melaknat Yahudi dan Nasrani
dalam hadits ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mengikuti
langkah-langkah kedua Ahli Kitab tersebut. Dan ternyatalah mereka, para
sahabat, menerima peringatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam itu
dan mengamalkan wasiat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu,
niscaya kuburan beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena
peringatan dan kekhawatiran beliau n bahwa kuburan beliau dijadikan
masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani, niscaya
kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di luar rumahnya,
berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di Baqi atau
selainnya. Di samping alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang disampaikan oleh
Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu :
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ يُقْبَرُونَ حَيْثُ يُقْبَضُونَ
"Sesungguhnya para nabi itu dikuburkan di mana mereka diwafatkan".
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah dimaklumi,
bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.
Kemudian perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir
(kuburannya) akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua
riwayat.
Berdasarkan riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam sendirilah yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk
menguburkannya di tempat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.
Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang
mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir
hal itu terjadi pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak
menampakkan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , karena
dikhawatirkan umat Islam berlebih-lebihan dan terlalu
mengagung-agungkan kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jika
ditampakkan.
Imam al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha
semampu mungkin menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara meninggikan dinding
tanahnya dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke arahnya dengan
menjadikan dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut
apabila letak kuburan beliau n dijadikan kiblat bagi orang-orang yang
melakukan shalat sehingga seakan shalat yang menghadap ke arahnya
tersebut merupakan suatu wujud beribadah. Karenanya, mereka kemudian
membangun dua dinding dari dua sudut kuburan bagian utara, dan
mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang membentuk segitiga
dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun untuk menghadap
ke arah kuburan beliau.”
3. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu
'anhu, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda lima hari sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku
menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak, bahwa aku mempunyai
seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya
Allah telah menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan
seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar
sebagai khalil. Ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu
telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, maka
janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena
aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”
Al Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap perbuatan mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna.
Pertama, mereka bersujud terhadap kuburan para nabi untuk mengagungkan
utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang menganggap boleh melakukan
shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika melakukan
shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada
Allah dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi
tersebut.
Makna pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas).
Sedangkan makna kedua merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang
tersembunyi). Oleh karena itu, mereka layak untuk dilaknat.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan
permasalahan sikap keras Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan menjadikan kuburan
para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah),
meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada
Allah. Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara
sarana-sarana yang mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan
di dalam kaidah-kaidah syariat dan telah disepakati oleh para muhaqqiq,
bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan kepada kesyirikan dan
kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk
menutup pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah
menuju kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu
kesyirikan kepada Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan
kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Karena itu,
tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid yang dibangun di atas
kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang
itu melakukannya, padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat
itu dilakukan sehingga shalatnya pun batal. Jadi, orang yang shalat di
dalam masjid yang dibangun di atas kuburan, maka shalatnya batal, tidak
sah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ‘ketahuilah,
janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan
membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh
aku larang kalian darinya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah n ,
(pada) menjelang akhir hayatnya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits
Jundub) telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat
ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya
–sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah– beliau melaknat orang yang melakukan
perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah walaupun tidak membangunnya.
Inilah makna kata-kata Aisyah ‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai
tempat ibadah’, karena para sahabat belum pernah membangun masjid
(tempat ibadah) di sekitar kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Padahal setiap tempat yang digunakan untuk melakukan shalat di
dalamnya, itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap
tempat yang dipergunakan untuk shalat disebut masjid sebagai yang telah
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Telah
dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan sebagai sarana bersuci.”.
Kesimpulannya : Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat
menghadap ke arahnya, atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah
tempat tersebut, atau tidak mengharap berkahnya, tetapi hanya shalat
nafilah (selain shalat jenazah). Semua itu tidak boleh. Baik di atas
kuburan itu ada bangunan, seperti masjid, atau tidak bangunan di
atasnya, maka shalat di atasnya tetap tidak boleh.
Di dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu
dilakukan di rumah-rumah kalian, dan jangan di kuburan.” Juga
disebutkan di dalam Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada Umar
Radhiyallahu 'anhu ketika melihat sekelompok orang shalat di dekat
sebuah kubur ‘kuburan, kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan,
jauhilah kuburan. Ini menunjukkan, shalat di kuburan tidak
diperbolehkan, karena merupakan pengantar kepada kesyirikan. Lebih
parah lagi jika di kuburan tersebut dibangun bangunan, lalu menjadikan
bangunan-bangunan sekitar kuburan itu sebagai masjid untuk shalat,
berdoa, membaca al Qur`an, dan semisalnya.
Maraji:
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
0 comments: on "LARANGAN BERIBADAH DI KUBURAN (BUKAN MELARANG BERRZIARAH LOH)"
Post a Comment
Silahkan isikan uneg-uneg kalian setelah berkunjung dan membaca tulisan di blog ini..
diharapkan komentar berupa kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan blog ini ^^